KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARI’AH
(TINJAUAN FIQH MUAMALAH)
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan produk-produk berbasis
syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian
mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah.
Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti,
tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai
alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis
untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau
dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee
Based Income (FBI) atau
Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP)
mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang
sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat
pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai
penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti
Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai
Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam
akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka
penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna
melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan
antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan
dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Salah satu inovasi produk yang
diluncurkan oleh pagadaian adalah Program Kredit Tunda Jual Komoditas Pertanian
yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Gadai Gabah. Program ini diluncurkan atas landasan pemikiran bahwa
dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual gabah pada
saat panen raya. Sasaran utama program ini adalah membantu petani agar bisa
menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh
pemerintah. Pengalaman selama ini ketika terjadi panen raya, petani
selalu menjadi pihak yang dirugikan. Untuk mencegah kerugian yang diderita oleh
petani pada saat musim panen akibat anjloknya harga gabah, Perum Pegadaian
meluncurkan gadai gabah. Dengan sistem ini, petani menggadaikan gabahnya pada
musim panen, untuk ditebus dan dijual ketika harga gabah kembali normal. Dengan
adanya gadai gabah, petani bisa tidak menjual semua gabahnya pada saat musim
panen (harga murah) melainkan menyimpannya dulu di gudang milik agen yang
menjadi mitra pegadaian. Petani menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen
pada Perum Pegadaian dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah
kembali normal, petani dapat menebusnya dengan harga yang sarna ketika
menggadaikan gabahnya ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5 persen per bulan.
Jika selama batas waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak
dapat menebusnya, gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga
gabah akan diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan
adalah Gabah Kering Giling (GKG). Bila gabah petani bukan gabah kering giling maka petani
akan dikenakan proses penanganan (handling)
sebesar Rp 10 per kg.
BAB II
RAHN
2.1 DEFINISI RAHN
Menurut
bahasa, rahn berarti tetap, kekal dan
berkesinambungan. Rahn juga bermakna al-habsu
yang berarti menahan atau jaminan[1].
Akad rahn dalam istilah terminologi
positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn
merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan.[2]
Secara terminologi ada beberapa defenisi rahn yang
dikemungkakan oleh ulama fiqh : Pertama, Ulama Malikiyah
mendefenisikannya dengan [3] :
“Harta yang
dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan bukan
hanya harta yang bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat tertentu.
Kedua,
Ulama Hanâfiyah mendefenisikannya dengan[4] ;
“Menjadikan
sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian dari barang
tersebut”
Ketiga, Ulama Syafi’iyah dan Hanâbilah mendefenisikannya
dengan [5];
“Menjadikan
materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayaran utang
apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utang”
Defenisi yang dikemungkakan oleh Ulama Syafi’iyah
dan Hanâbilah mengandung pengertian bahwa barang yang
boleh dijadikan jaminan utang hanyalah yang bersifat materi; tidak termasuk
manfaatnya, sekalipun manfaat itu menurut mereka termasuk dalam pengertian
harta[6].
Ke-empat, dalam Fatwa DSN MUI nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa nomor
26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, rahn didefenisikan
dengan :
“Menahan
barang sebagai jaminan atas utang”
Ke- lima, merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 20 ayat 14 dinyatakan bahwa
Rahn/gadai adalah :
”Penguasaan
barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.”
2.2. DASAR HUKUM
1.
Firman Allah :
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3
wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4
`tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Q.S. Al-Baqoroh 283.
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] barang
tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
2.
Hadits Nabi SAW :
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan
dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi
kepadanya.” {HR. Bukhâri dan
Muslim dari ‘Aisyah r.a }
2.3. RUKUN AKAD RAHN
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn.
Menurut Jumhur Ulama rukun rahn ada empat, yaitu[7] ;
- Pihak yang berakad : yang
menggadaikan/pemberi gadai (râhin) & yang menerima gadai
(murtahin)
- Objek yang digadaikan (marhun)
- Hutang (marhun bih)
- Ijab qabul (sighat)
Ulama Hanâfiyah berpendapat
bahwa rukun rahn hanya sighat ijab dan qabul, sedangkan
3 (tiga) lainnya bukan merupakan rukun dari akad rahn.
Di samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini,
maka diperlukan al-qabdh (penyerahan barang) oleh
pemberi utang. [8]
2.4. SYARAT SAH AKAD RAHN
Agar pelaksanaan akad rahn sempurna,
berikut beberapa syarat dari sahnya akad rahn :
- Syarat Pihak yang berakad[9] :
i.
Cakap hukum ( Baligh & Berakal ), anak yang tergolong mumayyiz &
tidak dalam keadaan gila.
ii.
Tidak sepihak, khusus untuk akad rahn dalam konteks perwalian.
iii.
Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa / terpaksa /dibawah tekanan.
- Syarat Obyek yang diagunkan [10]:
i.
Barang itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan dalam Islam (mâl
mutaqawwim)
ii.
Barang itu ada pada waktu akad[11].
iii.
Barang itu milik sah & sempurna dari râhin (milk
al-tâm) atau Barang itu tidak terkait dengan hak orang lain.
iv.
Barang itu jelas dan tertentu.
v.
Barang itu dapat diserahkan baik materi maupun manfaatnya
- Syarat Utang (marhun bih)[12]:
i. Merupakan
hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi utang, meliputi hutang uang atau
hutang barang.
ii. Utang itu boleh
dilunasi dengan barang yang diagunkan, sebab barang itu merupakan jaminan atas
utang.
iii. Utang itu
jelas diketahui oleh kedua pihak yang berakad.
- Syarat Akad /sighot :
i. Tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau
dikaitkan dengan masa yang akan datang. UlamaHanâfiyah menyatakan bahwa
apabila akad rahn dibarengi dengan syarat
tertentu, atau dikaitkan dengan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya
batal sedangkan akad rahn-nya sah. Misalnya, orang yang
berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum
dibayar, maka akad rahn diperpanjang 1 (satu) bulan
; atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan.
Sedangkan, Ulama Hanâbilah, Malikiyah dan Syafi’iyah
menyatakan bilamana syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad
maka syarat itu diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan
tabiat akad rahn maka syaratnya batal. Kedua
syarat dalam contoh di atas (perpanjangan rahn 1
(satu) bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), tidak boleh menjual agunan jika
masa akad rahn telah jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak
mampu bayar merupakan syarat yang tidak sesuai dengan tabiat akad rahn,
karenanya syarat tersebut batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya : pemberi
utang meminta agar akad disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.[13]
ii. Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 329 ayat 2 dinyatakan : Akad (yang dimaksud
dalam ayat (1) di atas harus dinyatakan oleh para pihak dengan cara lisan,
tulisan, atau isyarat.
Di samping
syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa akad rahn baru
dianggap sempurna apabila marhun secara hukum sudah ada di
tangan pemberi utang. Syarat yang terakhir ini disebut sebagai qabdh
al-marhun.[14] Terdapat
2 (dua) syarat dari qabdh al-marhun, yaitu : mendapat
izin dari râhin dan dipegang atau telah dipindahtangakan kemurtahin.[15] Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT :
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B
“Dan
apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang....” { QS. Al-Bâqarah [2] : 283}
Ulama
Malikiyah menganggap bahwa marhun tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi
boleh juga penyerahaanya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai
jaminan, maka yang diserahkan adalah surat jaminan atau sertifikat tanah.[16]
Imam
Syafi’i melihat bahwa Allah tidak menetapkan satu hukum kecuali dengan jaminan
yang memiliki kriteria jelas dalam serah terima. Apabila kriteria tersebut
tidak ada maka hukumnya juga tidak ada. Mazhab Maliki berpendapat bahwa gadai
wajib dengan akad dan bagi orang yang menggadaikan diharuskan menyerahkan
barang jaminan untuk dikuasai oleh (murtahin).[17]
Merujuk
pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 331
dinyatakan : ”Akad gadai sempurna bila harta gadai (selanjutnya
dibaca : marhun) telah dikuasai oleh penerima gadai (selanjutnya
dibaca : murtahin)”. Pada pasal 332 ayat 1 dinyatakan
: “Harta gadai harus bernilai dan dapat diserahkan-terimakan.” Sedangkan,
pada pasal Apabila harta gadai belum diserah-terimakan kepada murtahin maka
akad rahn yang telah disepakati dapat dibatalkan.
2.5. JENIS AKAD RAHN
Terdapat 2 (dua) jenis akad rahn yang
umumnya dikenal di dalam khazanah Islam yaitu : rahn
hiyâzi dan rahn takmîny atau rahn
rasmy. Untuk rahn jenis kedua lebih familiar
disebut denganrahn tashjîly. Rahn hiyâzi adalah akad
penyerahan atas hak kepemilikan barang dalam penguasaan pemberi utang. Artinya,
posisi marhun dalam rahn hiyâzi berada di tangan
pemberi utang. Sedangkan, rahn takmîny atau rahn
rasmy adalah akad (rahn) atas barang bergerak dimana
pemberi hutang hanya menguasai hak kepemilikan sedangkan fisik barang masih
berada dalam penguasaan râhin sebagai penerima hutang.[18]
2.6. SIFAT HUKUM AKAD RAHN
Menurut
Fathi ad-Duraini hakikat rahn dalam Islam adalah akad yang
dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.[19]
Akad rahn termasuk ke dalam akadtabarru’,
sebab murtahin tidak menerima suatu tambahan apapun
dari râhin.[20]
Sesuai
dengan Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn serta
Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 343,
bahwa murtahin selaku peneriman harta gadai mempunyai
hak untuk menahan marhun sampai semua utang râhin dilunasi.
Oleh sebab itu, apabila barang jaminan telah dikuasai oleh murtahin selaku
pemberi utang maka akad rahn bersifat mengikat [21]
serta tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh râhin.
2.7. PEMANFAATAN MARHUM
Akad rahn dimaksudkan
sebagai bentuk kepercayaan dan jaminan atas pemberian utang, bukan mencari
keuntungan dan hasil darinya. Apabila demikian yang berlaku, debitor (murtahin)
tidak berhak memanfaatkan barang yang digadaikan sekalipun diizinkan oleh rahin.
Memanfaatkan barang gadaian tak ubahnya seperti qirâdh yang
menguntungkan dan setiap bentuk qirâdh yang menguntungkan adalah
riba. [22]
Jumhur
Ulama, selain Ulama Hanâbilah, menyatakan bahwa pemegang
barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena itu bukan
miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah
sebagai jaminan atas piutangnya, dan apabila orang yang berutang tidak mampu
melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi
piutangnya. Hal ini didasari dari hadits :
“Tidak
terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia
memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” { HR. al-Syafi’I, al-Daruqutni dan Ibnu Majah }
Dalam
konteks, izin dari pemilik, sebagian Ulama Hanâfiyah membolehkan
pemegang barang untuk memanfaatkan barang tersebut selama ada di tangannya jika
telah memperoleh izin dari pemilik barang. Namun, Ulama Malikiyah, Ulama
Syafi’iyah dan sebagian Ulama Hanâfiyahlainnya berpendapat sekalipun
pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang jaminan tidak boleh memanfaatkan
barang jaminan itu. Apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil
pemanfaatan itu merupakan ribâ. Dalam masalah ribâ,
perizinan dan ridha tidak berlaku. [23]
Berbeda
dengan paragraf di atas, apabila barang yang dijadikan jaminan adalah binatang
ternak, maka sebagian Ulama Hanâfiyah membolehkan pemanfaat
barang jaminan berupa ternak tersebut jika mendapat izin dari pemilik ternak.
Namun, Ulama Malikiyah, Ulama Syafi’iyah dan sebagian Ulama Hanâfiyah lainnya
berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanapa diurus oleh
pemiliknya, maka murtahin boleh memanfaatkannya,
baik seizin pemiliknya atau pun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia,
dilarang dalam Islam.
Ulama Hanâbilah,
berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka
pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannnya,
sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang
jaminan.
"Tunggangan
(kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan
binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung
biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib
menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."
{ HR. Bukhâri,
Tirmidzi, Abu Daud }
Para
ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan marhun oleh pemilik barang.
UlamaHanâfiyah dan Hanâbilah menyatakan pemilik barang
boleh memanfaatkan barang miliknya selama ada izin dari murtahin. Namun,
Ulama Syafi’iyah berpendapat pemanfaatan marhun olehrâhin sebagai
pemilik barang tidak perlu ada izin dari murtahin. Alasannya, marhun adalah
tetap menjadi milik râhin dan seorang pemilik tidak
boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya.[24]
Berdasarkan
Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dinyatakan
bahwa Pada prinsipnya, marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali
seizin râhin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan
pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya. Hal tersebut terjadi mengingat marhun dan manfaatnya tetap
merupakan milikrâhin.
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 357 dinyatakan : “Penerima
gadai tidak boleh menggunakan harta gadai tanpa seizin
pemberi gadai(selanjutnya dibaca : râhin) .”
2.8. BIAYA PERAWATAN DAN
PEMELIHARAAN MARHUM
Berdasarkan Fatwa DSN MUI
nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dinyatakan bahwa
Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya
menjadi kewajiban râhin, namun dapat dilakukan juga
oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban râhin. Adapun Besaran biaya
pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak
boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
Dalam fatwa berbeda, yaitu
Fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas dinyatakan bahwa
ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (râhin).
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia membuat ketentuan bahwa
besaran ongkos yang dimaksud didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan sedang pengenaan biaya penyimpanan barang (marhun)
dilakukan berdasarkan akad Ijarah.
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 362 dinyatakan : ”Pemberi
gadai bertanggung jawab atas biaya penyimpanan dan pemeliharaan harta gadai,
kecuali ditentukan lain dalam akad.”
2.9. BERAKHIRNYA AKAD RAHN
Akad Rahn akan
berakhir apabila[25]
:
- Marhun diserahkan
kepada râhin sebagai pemilik
barang. Pendapat ini adalah menurut Jumhur Ulama selain, Ulama Syafi’iyah
dikarenakan bagi mereka rahn adalah jaminan atas
utang.
- Hutang râhin telah lunas
seluruhnya.
- Penjualan marhun.
- Murtahin melakukan pengalihan
utang râhin kepada pihak lain.
- Karena pembatalan oleh murtahin walaupun
tanpa disertai qabul dari râhin,
dikarenakan pembatan itu adalah hak dari murtahin.
- 6. Meninggalnya râhin atau murtahin sebelum marhun diserahkan.
Pendapat ini adalah dari Ulama Hanâfiyah. Sedangkan, menurut
Ulama Syafi’iyah dan Hanâbilah hal
tersebut tidak menyebabkan batalnya akad. Merujuk pada Buku 2 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 348 ayat 1 dinyatakan
: ”Ahli waris yang memiliki kecakapan hukum dapat menggantikan
pemberi gadai (baca : râhin) yang
meninggal”
- Musnahnya marhun (di
tangan murtahin). Menurut Ulama Hanâfiyah,
atas perkara tersebut murtahin dapat dikenakan denda sebesar harga barang
minimum atau sebesar utang râhin, sebab hakikatnya marhun adalah
amanah yang diberikan kepada murtahin.[26]
- Apabila marhun disewakan,
dihibahkan dan atau disedekahkan atas seizin pemilik barang.
BAB III
KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARI’AH
1. Lahirnya Pegadaian Syariah
Terbitnya
PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan
Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus
diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah
hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan
usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang
Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan
bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah
SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep
pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan
divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi
Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas
rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang
Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit
organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini
merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya
dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di
Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di
bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya,
Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga
September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di
Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
2. Operasionalisasi Pegadaian Syariah
Implementasi
operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti
halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang
pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai
syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan
barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang
tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi
pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn
saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping
beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan
konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri
tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.
Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian
berikut.
3. Teknik
Transaksi
Sesuai
dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di
atas dua akad transaksi Syariah yaitu :
1.
Akad
Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas
utang nasabah.
2.
Akad
Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan
atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian
untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah
melakukan akad.
Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad :
1) Yang berhutang
(rahin) dan
2) Yang berpiutang
(murtahin).
b. Sighat (ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme
operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad
rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan
merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul
dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai
investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa
kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian
Syariah akan memperoleh keutungan hanya
dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal
yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan
proses pinjam meminjam uang hanya sebagai “lipstick”
yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.
Adapun
ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
1.
Akad. Akad
tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang
jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2.
Marhun Bih (
Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada
murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan
tertentu.
3.
Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya
seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari
rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi
maupun manfaatnya.
4.
Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang
yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5.
Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa :
biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta
administrasi.
Untuk
dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup
menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan
menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai
patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang
pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai
intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum
uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran
barang.
Setelah
melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan
kesepakatan :
1.
Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan
selama maksimum empat bulan.
2.
Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,-
(sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang
dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3.
Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan
oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah
dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
·
melakukan penebusan barang/pelunasan
pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
·
mengangsur uang pinjaman dengan
membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea
administrasi,
·
atau hanya membayar jasa simpannya
saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi
pinjaman uangnya.
Jika
nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka
Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih
antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan
uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu
tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata
nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang
kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
4.
Pendanaan
Aspek
syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan
dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah
termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal
sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank
Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan
lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
Dari
uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi
Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :
1.
Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar
oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2.
Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad
perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau
dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian
konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata
lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang
mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan
penarikan bea jasa simpan.
5.
Contoh Perjanjian Akad Rahn
Pasal
1
DEFINISI
Dalam
perjanjian ini yang dimaksud dengan :
1. “Rahn”
adalah
akad menggadaikan barang dari Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARI’AH ....
sehubungan dengan utang yang diterima Nasabah dari PEGADAIAAN SYARI’AH .....
2. “Perjanjian Utang”
adalah
surat perjanjian utang yang dibuat antara Nasabah dengan PEGADAIAAN SYARI’AH
.... pada tanggal ………………………. berikut perubahan-perubahan dan dokumen-dokumen
yang melekat pada dan merupakan bagian
perjanjian utang tersebut.
3. “Debitur”
adalah
Nasabah sebagai pihak yang berutang kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... berdasarkan
Per-janjian Utang.
4. “Rahin”
adalah
Nasabah sebagai pihak yang menggadaikan barang.
5.
“Murtahin”
adalah
PEGADAIAAN SYARI’AH .... sebagai pihak yang menerima gadai.
6. “Marhun”
adalah
barang yang digadaikan, yaitu berupa barang-barang yang akan diuraikan dalam
pasal 2 Rahn ini.
7. “Marhun bih”
adalah
utang Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... sebagaimana dinyatakan dalam
Perjan-jian Utang, yang dijamin dengan Rahn ini.
Pasal
2
POKOK
PERJANJIAN
Nasabah
dengan ini menggadaikan barang bergerak
sebagaimana jenis, kualitas dan kuantitasnya dinyatakan dalam Daftar yang
dilampirkan pada dan karenanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari Surat Perjanjian ini kepada PEGADAIAAN SYARI’AH ...., sebagaimana PEGADAIAAN
SYARI’AH .... menerima gadai tersebut dari Nasabah.
Pasal
3
KEPEMILIKAN
BARANG DAN JAMINAN NASABAH
Nasabah
selaku Rahin menjamin bahwa seluruh barang marhun yang dijadikan jaminan atas
utang Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... benar-benar milik Nasabah (Rahin)
yang tidak tersangkut sengketa atau perkara, bebas dari pembebanan apa pun,
sehingga oleh karena itu Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk
menjamin PEGADAIAAN SYARI’AH .... dibebaskan dari segala bentuk tuntutan atau
gugatan apa pun dan dari pihak manapun juga.
Pasal
4
PENGGUNAAN
MARHUN SEBAGAI PELUNAS UTANG
1. Ayat 1 ini berisi substansi kekuasaan PEGADAIAAN
SYARI’AH .... atas marhun
substansi
kekuasaan PEGADAIAAN SYARI’AH .... terhadap marhun perlu didiskusikan dulu,
agar rumusannya benar-benar dapat menggambarkan adanya kesetaraan antara
kedudukan PEGADAIAAN SYARI’AH .... sebagai Murtahin dan Nasabah sebagai Rahin.
2. Ayat 2 ini berisi substansi penggunaan uang
hasil penjualan marhun sebagai pelunas utang.
Pasal
5
BIAYA,
POTONGAN DAN PAJAK-PAJAK
1. Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan
diri untuk menanggung segala biaya yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan
Perjanjian ini, termasuk jasa Notaris dan jasa lainnya, sepanjang hal itu
diberitahukan PEGADAIAAN SYARI’AH .... kepada Nasabah sebelum ditandatanganinya
Perjanjian ini, dan Nasabah menyatakan
persetujuannya.
2. Dalam hal Nasabah cedera janji tidak
menyerahkan barang kepada PEGADAIAAN SYARI’AH ...., sehingga PEGADAIAAN SYARI’AH .... perlu
menggunakan jasa Penasihat Hukum/Kuasa untuk menagihnya, maka Nasabah berjanji
dan mengikatkan diri untuk membayar kembali seluruh biaya jasa Penasihat Hukum,
jasa penagihan, dan jasa-jasa lainnya yang dapat dibuktikan secara
syah menurut ketentuan hukum.
3. Setiap menyerahkan barang kembali/pelunasan
utang sehubungan dengan Perjanjian ini dan Perjanjian lainnya yang mengikat
Nasabah dan PEGADAIAAN SYARI’AH ...., dilakukan oleh Nasabah kepada PEGADAIAAN
SYARI’AH .... tanpa potongan, pungutan, bea, pajak dan/atau biaya-biaya
lainnya, kecuali jika potongan tersebut diharuskan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Nasabah berjanji mengikatkan diri, bahwa
terhadap setiap potongan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku, akan dilakukan pembayarannya oleh Nasabah melalui PEGADAIAAN SYARI’AH
.....
Pasal
6
ASURANSI
ATAS MARHUN
Hal-hal
berikut perlu didiskusikan :
a. Demi keadilan dan kesetaraan kedua pihak,
perlu dipertimbangkan siapa yang harus menanggung pembayaran premi asuransi.
(Harus diingat, karena sifatnya gadai, maka marhun yang merupakan benda
bergerak harus diserahkan oleh Nasabah kepada dan berada dalam kekuasaan fisik PEGADAIAAN
SYARI’AH .....
b. Karena marhun secara fisik berada dalam
kekuasaan PEGADAIAAN SYARI’AH ...., maka semestinya PEGADAIAAN SYARI’AH ....
untuk dan atas nama Nasabah lebih berkewajiban untuk mengajukan klaim bila
terjadi sesuatu terhadap marhun dari pada Nasabah sendiri.
Bila
pemberi pekerjaan sepakat dengan pola pikir tersebut, maka rumusan ayat 1, 2
dan 3 pada draft perlu disempurnakan secara mendasar hingga berbunyi sebagai
berikut :
1. PEGADAIAAN SYARI’AH .... dan Nasabah
sepakat dan dengan ini saling mengikatkan diri untuk meng-asuransikan barang
yang digadaikan (marhun) pada perusahaan asu-ransi syariah yang ditetapkan PEGADAIAAN
SYARI’AH .... dengan jumlah uang pertanggungan sampai sebesar Rp……………....….
(…………………………………………..) untuk masa selama utang Nasabah belum dilunasi, dengan
premi asuransi yang ditanggung bersama oleh kedua belah pihak sama besar, dan
yang dalam setiap polis asuransinya mencantumkan ketentuan “PEGADAIAAN SYARI’AH
....er’s clause”.
2.
Bila menurut pertimbangan PEGADAIAAN SYARI’AH ...., Nasabah dianggap lalai
tidak memenuhi ke-wajibannya tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka tanpa
mengurangi kewajiban Nasabah, PEGADAIAAN SYARI’AH .... berhak sepenuhnya untuk
dan atas nama serta mewakili Nasabah meng-asuransikan barang yang digadaikan
(marhun) sesuai dengan ketentuan ayat 1 pasal ini serta mendebit rekening
Nasabah sejumlah bagian pembayaran premi yang menjadi kewajiban Nasabah.
3. Bila terjadi sesuatu peristiwa yang
diperjanjikan dalam perjanjian asuransi atas barang yang digadaikan (marhun)
yang dapat mendatangkan risiko bagi PEGADAIAAN SYARI’AH .... dan/atau Na-sabah,
maka tanpa mengurangi kewajiban Nasabah untuk menanggung seluruh bia-yanya, PEGADAIAAN
SYARI’AH .... berhak mengajukan klaim terhadap perusahaan asuransi yang
ber-sangkutan, termasuk, namun tidak terbatas pada pengurusan surat-surat
dan/atau dokumen-dokumen yang diperlukan sehubungan dengan pengajuan klaim
tersebut, dan Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk
menyerahkan segala surat dan/ atau dokumen terkait kepada PEGADAIAAN SYARI’AH
.....
4. Untuk melaksanakan tindakan hukum yang perlu
dilakukan oleh PEGADAIAAN SYARI’AH .... sebagaimana ter-sebut pada ayat 2 dan 3
pasal ini, maka berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian ini yang tidak dapat
dibatalkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, Nasabah dengan ini memberi
kuasa penuh kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... dengan kuasa yang tidak dapat
berakhir berda-sarkan Pasal 1813 KUH Perdata, sebagaimana Surat Kuasa yang
dilampirkan pada dan karenanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari Surat Perjanjian ini.