Jumat, 21 Oktober 2011

KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARI’AH (TINJAUAN FIQH MUAMALAH)


KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARI’AH

(TINJAUAN FIQH MUAMALAH)

 

BAB I

PENDAHULUAN

                 Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
                 Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
                 Salah satu inovasi produk yang diluncurkan oleh pagadaian adalah Program Kredit Tunda Jual Komoditas Pertanian yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Gadai Gabah. Program ini diluncurkan atas landasan pemikiran bahwa dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual gabah pada saat panen raya. Sasaran utama program ini adalah membantu petani agar bisa menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengalaman selama ini ketika terjadi panen raya, petani selalu menjadi pihak yang dirugikan. Untuk mencegah kerugian yang diderita oleh petani pada saat musim panen akibat anjloknya harga gabah, Perum Pegadaian meluncurkan gadai gabah. Dengan sistem ini, petani menggadaikan gabahnya pada musim panen, untuk ditebus dan dijual ketika harga gabah kembali normal. Dengan adanya gadai gabah, petani bisa tidak menjual semua gabahnya pada saat musim panen (harga murah) melainkan menyimpannya dulu di gudang milik agen yang menjadi mitra pegadaian. Petani menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen pada Perum Pegadaian dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah kembali normal, petani dapat menebusnya dengan harga yang sarna ketika menggadaikan gabahnya ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5 persen per bulan. Jika selama batas waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat menebusnya, gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga gabah akan diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan adalah Gabah Kering Giling (GKG). Bila gabah petani bukan gabah kering giling maka petani akan dikenakan proses penanganan (handling) sebesar Rp 10 per kg.               

BAB II
RAHN
2.1  DEFINISI RAHN
                 Menurut bahasa, rahn  berarti tetap, kekal dan berkesinambungan. Rahn juga bermakna al-habsu  yang berarti menahan atau jaminan[1].
                 Akad rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan.[2]
                 Secara terminologi ada beberapa defenisi rahn yang dikemungkakan oleh ulama fiqh : Pertama, Ulama Malikiyah mendefenisikannya dengan [3] :
       “Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”
                 Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan bukan hanya harta yang bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat tertentu.
      Kedua, Ulama Hanâfiyah mendefenisikannya dengan[4] ;
       “Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian dari barang tersebut”
      Ketiga, Ulama Syafi’iyah dan Hanâbilah mendefenisikannya dengan [5];
       “Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utang”
                 Defenisi yang dikemungkakan oleh Ulama Syafi’iyah dan Hanâbilah mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang hanyalah yang bersifat materi; tidak termasuk manfaatnya, sekalipun manfaat itu menurut mereka termasuk dalam pengertian harta[6].
                 Ke-empat, dalam Fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, rahn didefenisikan dengan :
       “Menahan barang sebagai jaminan atas utang”
                 Ke- lima, merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 20 ayat 14 dinyatakan bahwa Rahn/gadai adalah :
       ”Penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.”

2.2. DASAR HUKUM

1.         Firman Allah :
 bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Q.S. Al-Baqoroh 283.  Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180]  barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
2.    Hadits Nabi SAW :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”  {HR. Bukhâri dan Muslim dari ‘Aisyah r.a }

2.3.      RUKUN AKAD RAHN
                   Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut Jumhur Ulama rukun rahn ada empat, yaitu[7] ;
  1. Pihak yang berakad : yang menggadaikan/pemberi gadai (râhin) & yang menerima gadai (murtahin)
  2. Objek yang digadaikan (marhun)
  3. Hutang (marhun bih)
  4. Ijab qabul (sighat)
                   Ulama Hanâfiyah berpendapat bahwa rukun rahn hanya sighat ijab dan qabul, sedangkan 3 (tiga) lainnya bukan merupakan rukun dari akad rahn. Di samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini, maka diperlukan al-qabdh (penyerahan barang) oleh pemberi utang. [8]
2.4.      SYARAT SAH AKAD RAHN
                   Agar pelaksanaan akad rahn sempurna, berikut beberapa syarat dari sahnya akad rahn :     
  1. Syarat Pihak yang berakad[9]   :
 i.   Cakap hukum ( Baligh & Berakal ), anak yang tergolong mumayyiz & tidak dalam keadaan gila.
ii.   Tidak sepihak, khusus untuk akad rahn dalam konteks perwalian.
iii.   Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa / terpaksa /dibawah tekanan.
  1. Syarat Obyek yang diagunkan [10]:
i.   Barang itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan dalam Islam (mâl mutaqawwim)
ii.   Barang itu ada pada waktu akad[11].
iii.   Barang itu milik sah & sempurna dari râhin (milk al-tâm) atau Barang itu tidak terkait dengan hak orang lain.
iv.   Barang itu jelas dan tertentu.
 v.   Barang itu dapat diserahkan baik materi maupun manfaatnya
  1. Syarat Utang (marhun bih)[12]:
 i.   Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi utang, meliputi hutang uang atau hutang barang.
ii.   Utang itu boleh dilunasi dengan barang yang diagunkan, sebab barang itu merupakan jaminan atas utang.
iii.   Utang itu jelas diketahui oleh kedua pihak yang berakad.
  1. Syarat Akad /sighot :
i.   Tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang. UlamaHanâfiyah menyatakan bahwa apabila akad rahn dibarengi dengan syarat tertentu, atau dikaitkan dengan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal sedangkan akad rahn-nya sah. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum dibayar, maka akad rahn diperpanjang 1 (satu) bulan ; atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Sedangkan, Ulama Hanâbilah, Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan bilamana syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad maka syarat itu diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan rahn 1 (satu) bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), tidak boleh menjual agunan jika masa akad rahn telah jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak mampu bayar merupakan syarat yang tidak sesuai dengan tabiat akad rahn, karenanya syarat tersebut batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya : pemberi utang meminta agar akad disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.[13]
ii.   Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 329 ayat 2 dinyatakan : Akad (yang dimaksud dalam ayat (1) di atas harus dinyatakan oleh para pihak dengan cara lisan, tulisan, atau isyarat.
                 Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa akad rahn baru dianggap sempurna apabila marhun secara hukum sudah ada di tangan pemberi utang. Syarat yang terakhir ini disebut sebagai qabdh al-marhun.[14] Terdapat 2 (dua) syarat dari qabdh al-marhun, yaitu : mendapat izin dari râhin dan dipegang atau telah dipindahtangakan kemurtahin.[15] Hal ini  sesuai dengan firman Allah SWT :
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B
     “Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang....”  { QS. Al-Bâqarah [2] : 283}
                 Ulama Malikiyah menganggap bahwa marhun tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahaanya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan adalah surat jaminan atau sertifikat tanah.[16]
                 Imam Syafi’i melihat bahwa Allah tidak menetapkan satu hukum kecuali dengan jaminan yang memiliki kriteria jelas dalam serah terima. Apabila kriteria tersebut tidak ada maka hukumnya juga tidak ada. Mazhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan akad dan bagi orang yang menggadaikan diharuskan menyerahkan barang jaminan untuk dikuasai oleh (murtahin).[17]
                 Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 331 dinyatakan : ”Akad gadai sempurna bila harta gadai (selanjutnya dibaca : marhun) telah dikuasai oleh penerima gadai (selanjutnya dibaca : murtahin). Pada pasal 332 ayat 1 dinyatakan : “Harta gadai harus bernilai dan dapat diserahkan-terimakan.” Sedangkan, pada pasal Apabila harta gadai belum diserah-terimakan kepada murtahin maka akad rahn yang telah disepakati dapat dibatalkan.  
2.5.             JENIS AKAD RAHN
                   Terdapat 2 (dua) jenis akad rahn yang umumnya dikenal di dalam khazanah Islam yaitu : rahn hiyâzi dan rahn takmîny atau rahn rasmy. Untuk rahn jenis kedua lebih familiar disebut denganrahn tashjîlyRahn hiyâzi adalah akad penyerahan atas hak kepemilikan barang dalam penguasaan pemberi utang. Artinya, posisi marhun dalam rahn hiyâzi berada di tangan pemberi utang. Sedangkan, rahn takmîny atau rahn rasmy adalah akad (rahn) atas barang bergerak dimana pemberi hutang hanya menguasai hak kepemilikan sedangkan fisik barang masih berada dalam penguasaan râhin sebagai penerima hutang.[18]   
2.6.  SIFAT HUKUM AKAD RAHN
                   Menurut Fathi ad-Duraini hakikat rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.[19] Akad rahn termasuk ke dalam akadtabarru’, sebab murtahin tidak menerima suatu tambahan apapun dari râhin.[20]
                   Sesuai dengan Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn serta Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 343, bahwa murtahin selaku peneriman harta gadai mempunyai hak untuk menahan marhun sampai semua utang râhin dilunasi. Oleh sebab itu, apabila barang jaminan telah dikuasai oleh murtahin selaku pemberi utang maka akad rahn bersifat mengikat [21] serta tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh râhin.
2.7.  PEMANFAATAN MARHUM
                   Akad rahn dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dan jaminan atas pemberian utang, bukan mencari keuntungan dan hasil darinya. Apabila demikian yang berlaku, debitor (murtahin) tidak berhak memanfaatkan barang yang digadaikan sekalipun diizinkan oleh rahin. Memanfaatkan barang gadaian tak ubahnya seperti qirâdh yang menguntungkan dan setiap bentuk qirâdh yang menguntungkan adalah riba. [22]
                   Jumhur Ulama, selain Ulama Hanâbilah, menyatakan bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan atas piutangnya, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya. Hal ini didasari dari hadits :
       “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya.  Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” { HR. al-Syafi’I, al-Daruqutni dan Ibnu Majah }
                   Dalam konteks, izin dari pemilik, sebagian Ulama Hanâfiyah membolehkan pemegang barang untuk memanfaatkan barang tersebut selama ada di tangannya jika telah memperoleh izin dari pemilik barang. Namun, Ulama Malikiyah, Ulama Syafi’iyah dan sebagian Ulama Hanâfiyahlainnya berpendapat sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan ribâ. Dalam masalah ribâ, perizinan dan ridha tidak berlaku. [23]   
                   Berbeda dengan paragraf di atas, apabila barang yang dijadikan jaminan adalah binatang ternak, maka sebagian Ulama Hanâfiyah membolehkan pemanfaat barang jaminan berupa ternak tersebut jika mendapat izin dari pemilik ternak. Namun, Ulama Malikiyah, Ulama Syafi’iyah dan sebagian Ulama Hanâfiyah lainnya berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanapa diurus oleh pemiliknya, maka murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya atau pun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia, dilarang dalam Islam.
                   Ulama Hanâbilah, berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannnya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.  
       "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."                                              
        { HR. Bukhâri, Tirmidzi, Abu Daud }
                   Para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan marhun oleh pemilik barang. UlamaHanâfiyah dan Hanâbilah menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan barang miliknya selama ada izin dari murtahin. Namun, Ulama Syafi’iyah berpendapat pemanfaatan marhun olehrâhin sebagai pemilik barang tidak perlu ada izin dari murtahin. Alasannya, marhun adalah tetap menjadi milik râhin dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya.[24]
                   Berdasarkan Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dinyatakan bahwa Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin râhin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Hal tersebut terjadi mengingat marhun dan manfaatnya tetap merupakan milikrâhin.
                   Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 357 dinyatakan : “Penerima gadai tidak boleh menggunakan harta gadai tanpa seizin pemberi gadai(selanjutnya dibaca : râhin.”
2.8.  BIAYA PERAWATAN DAN PEMELIHARAAN MARHUM
                   Berdasarkan Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dinyatakan bahwa Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban râhin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban râhin. Adapun Besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
                   Dalam fatwa berbeda, yaitu Fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas dinyatakan bahwa ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (râhin). Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia membuat ketentuan bahwa  besaran ongkos yang dimaksud didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan sedang pengenaan biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.
                   Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 362 dinyatakan : ”Pemberi gadai bertanggung jawab atas biaya penyimpanan dan pemeliharaan harta gadai, kecuali ditentukan lain dalam akad.”
2.9.      BERAKHIRNYA AKAD RAHN
      Akad Rahn akan berakhir apabila[25] :
  1. Marhun diserahkan kepada râhin sebagai pemilik barang. Pendapat ini adalah menurut Jumhur Ulama selain, Ulama Syafi’iyah dikarenakan bagi mereka rahn adalah jaminan atas utang.
  2. Hutang râhin telah lunas seluruhnya.
  3. Penjualan marhun.
  4. Murtahin melakukan pengalihan utang râhin kepada pihak lain.
  5. Karena pembatalan oleh murtahin walaupun tanpa disertai qabul dari râhin, dikarenakan pembatan itu adalah hak dari murtahin.
  6. 6.   Meninggalnya râhin atau murtahin sebelum marhun diserahkan. Pendapat ini adalah dari Ulama Hanâfiyah. Sedangkan, menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanâbilah   hal tersebut tidak menyebabkan batalnya akad. Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 348 ayat 1 dinyatakan : ”Ahli waris yang memiliki kecakapan hukum dapat menggantikan pemberi gadai (baca : râhinyang meninggal”
  7. Musnahnya marhun (di tangan murtahin). Menurut Ulama Hanâfiyah, atas perkara tersebut murtahin dapat dikenakan denda sebesar harga barang minimum atau sebesar utang râhin, sebab hakikatnya marhun adalah amanah yang diberikan kepada murtahin.[26]
  8. Apabila marhun disewakan, dihibahkan dan atau disedekahkan atas seizin pemilik barang.




BAB III
KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARI’AH

1.    Lahirnya Pegadaian Syariah

                   Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000  yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003  tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah  sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
                   Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri  di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah. 

 

2.    Operasionalisasi Pegadaian Syariah

                   Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
                   Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang  ketiga aspek tersebut,  dipaparkan dalam uraian berikut.
  

3.    Teknik Transaksi

                   Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu :

1.         Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2.    Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.

       Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a.    Orang yang berakad :
1) Yang berhutang (rahin) dan
2) Yang berpiutang (murtahin).
b.    Sighat (ijab qabul)
c.    Harta yang dirahnkan (marhun)
d.    Pinjaman (marhun bih)
                   Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

                   Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai “lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. 

                   Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi : 
1.         Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2.         Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3.         Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4.         Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5.         Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
                   Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
                   Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :
1.         Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
2.         Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3.         Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.

       Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
·           melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
·           mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
·           atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.

                   Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. 

4.      Pendanaan
                   Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
                   Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :
1.        Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2.        Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
5.      Contoh Perjanjian Akad Rahn
Pasal 1
DEFINISI
Dalam perjanjian ini yang dimaksud dengan :

1.    “Rahn”
adalah akad menggadaikan barang dari Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... sehubungan dengan utang yang diterima Nasabah dari PEGADAIAAN SYARI’AH .....
2.    “Perjanjian Utang”
adalah surat perjanjian utang yang dibuat antara Nasabah dengan PEGADAIAAN SYARI’AH .... pada tanggal ………………………. berikut perubahan-perubahan dan dokumen-dokumen yang melekat pada dan merupakan bagian  perjanjian utang tersebut.
3.    “Debitur”
adalah Nasabah sebagai pihak yang berutang kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... berdasarkan Per-janjian Utang.
4.    “Rahin”
adalah Nasabah sebagai pihak yang menggadaikan barang.
5.    “Murtahin”
adalah PEGADAIAAN SYARI’AH .... sebagai pihak yang menerima gadai.
6.    “Marhun”
adalah barang yang digadaikan, yaitu berupa barang-barang yang akan diuraikan dalam pasal 2 Rahn ini.
7.    “Marhun bih”
adalah utang Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... sebagaimana dinyatakan dalam Perjan-jian Utang, yang dijamin dengan Rahn ini.
Pasal 2
POKOK PERJANJIAN
Nasabah dengan ini menggadaikan barang  bergerak sebagaimana jenis, kualitas dan kuantitasnya dinyatakan dalam Daftar yang dilampirkan pada dan karenanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Surat Perjanjian ini kepada PEGADAIAAN SYARI’AH ...., sebagaimana PEGADAIAAN SYARI’AH .... menerima gadai tersebut dari Nasabah.

Pasal 3
KEPEMILIKAN BARANG DAN JAMINAN NASABAH
Nasabah selaku Rahin menjamin bahwa seluruh barang marhun yang dijadikan jaminan atas utang Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... benar-benar milik Nasabah (Rahin) yang tidak tersangkut sengketa atau perkara, bebas dari pembebanan apa pun, sehingga oleh karena itu Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menjamin PEGADAIAAN SYARI’AH .... dibebaskan dari segala bentuk tuntutan atau gugatan apa pun dan dari pihak manapun juga.
Pasal 4
PENGGUNAAN MARHUN SEBAGAI PELUNAS UTANG
1.    Ayat 1 ini berisi substansi kekuasaan PEGADAIAAN SYARI’AH .... atas marhun
substansi kekuasaan PEGADAIAAN SYARI’AH .... terhadap marhun perlu didiskusikan dulu, agar rumusannya benar-benar dapat menggambarkan adanya kesetaraan antara kedudukan PEGADAIAAN SYARI’AH .... sebagai Murtahin dan Nasabah sebagai Rahin.
2.    Ayat 2 ini berisi substansi penggunaan uang hasil penjualan marhun sebagai pelunas utang.
Pasal 5
BIAYA, POTONGAN DAN PAJAK-PAJAK
1.    Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menanggung segala biaya yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan Perjanjian ini, termasuk jasa Notaris dan jasa lainnya, sepanjang hal itu diberitahukan PEGADAIAAN SYARI’AH .... kepada Nasabah sebelum ditandatanganinya Perjanjian ini, dan Nasabah  menyatakan persetujuannya.
2.    Dalam hal Nasabah cedera janji tidak menyerahkan barang kepada PEGADAIAAN SYARI’AH ....,  sehingga PEGADAIAAN SYARI’AH .... perlu menggunakan jasa Penasihat Hukum/Kuasa untuk menagihnya, maka Nasabah berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar kembali seluruh biaya jasa Penasihat Hukum, jasa penagihan, dan jasa-jasa lainnya yang dapat dibuktikan  secara  syah menurut  ketentuan hukum.
3.    Setiap menyerahkan barang kembali/pelunasan utang sehubungan dengan Perjanjian ini dan Perjanjian lainnya yang mengikat Nasabah dan PEGADAIAAN SYARI’AH ...., dilakukan oleh Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... tanpa potongan, pungutan, bea, pajak dan/atau biaya-biaya lainnya, kecuali jika potongan tersebut diharuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.    Nasabah berjanji mengikatkan diri, bahwa terhadap setiap potongan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan dilakukan pembayarannya oleh Nasabah melalui PEGADAIAAN SYARI’AH .....

Pasal 6
ASURANSI ATAS MARHUN
Hal-hal berikut perlu didiskusikan :
a.    Demi keadilan dan kesetaraan kedua pihak, perlu dipertimbangkan siapa yang harus menanggung pembayaran premi asuransi. (Harus diingat, karena sifatnya gadai, maka marhun yang merupakan benda bergerak harus diserahkan oleh Nasabah kepada dan berada dalam kekuasaan fisik PEGADAIAAN SYARI’AH .....
b.    Karena marhun secara fisik berada dalam kekuasaan PEGADAIAAN SYARI’AH ...., maka semestinya PEGADAIAAN SYARI’AH .... untuk dan atas nama Nasabah lebih berkewajiban untuk mengajukan klaim bila terjadi sesuatu terhadap marhun dari pada Nasabah sendiri.
Bila pemberi pekerjaan sepakat dengan pola pikir tersebut, maka rumusan ayat 1, 2 dan 3 pada draft perlu disempurnakan secara mendasar hingga berbunyi sebagai berikut :
1.    PEGADAIAAN SYARI’AH .... dan Nasabah sepakat dan dengan ini saling mengikatkan diri untuk meng-asuransikan barang yang digadaikan (marhun) pada perusahaan asu-ransi syariah yang ditetapkan PEGADAIAAN SYARI’AH .... dengan jumlah uang pertanggungan sampai sebesar Rp……………....…. (…………………………………………..) untuk masa selama utang Nasabah belum dilunasi, dengan premi asuransi yang ditanggung bersama oleh kedua belah pihak sama besar, dan yang dalam setiap polis asuransinya mencantumkan ketentuan “PEGADAIAAN SYARI’AH ....er’s clause”.
2. Bila menurut pertimbangan PEGADAIAAN SYARI’AH ...., Nasabah dianggap lalai tidak memenuhi ke-wajibannya tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka tanpa mengurangi kewajiban Nasabah, PEGADAIAAN SYARI’AH .... berhak sepenuhnya untuk dan atas nama serta mewakili Nasabah meng-asuransikan barang yang digadaikan (marhun) sesuai dengan ketentuan ayat 1 pasal ini serta mendebit rekening Nasabah sejumlah bagian pembayaran premi yang menjadi kewajiban Nasabah.
3.   Bila terjadi sesuatu peristiwa yang diperjanjikan dalam perjanjian asuransi atas barang yang digadaikan (marhun) yang dapat mendatangkan risiko bagi PEGADAIAAN SYARI’AH .... dan/atau Na-sabah, maka tanpa mengurangi kewajiban Nasabah untuk menanggung seluruh bia-yanya, PEGADAIAAN SYARI’AH .... berhak mengajukan klaim terhadap perusahaan asuransi yang ber-sangkutan, termasuk, namun tidak terbatas pada pengurusan surat-surat dan/atau dokumen-dokumen yang diperlukan sehubungan dengan pengajuan klaim tersebut, dan Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menyerahkan segala surat dan/ atau dokumen terkait kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .....
4.   Untuk melaksanakan tindakan hukum yang perlu dilakukan oleh PEGADAIAAN SYARI’AH .... sebagaimana ter-sebut pada ayat 2 dan 3 pasal ini, maka berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian ini yang tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, Nasabah dengan ini memberi kuasa penuh kepada PEGADAIAAN SYARI’AH .... dengan kuasa yang tidak dapat berakhir berda-sarkan Pasal 1813 KUH Perdata, sebagaimana Surat Kuasa yang dilampirkan pada dan karenanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Surat Perjanjian ini.