Selasa, 11 Oktober 2011

I'JAZ AL-QUR'AN


I'JAZ AL-QUR'AN

MUQODIMAH

            Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan bahasan tentang salah satu cabang pokok bahasan Ulumul Qur'an di antara cabang pokok bahasan Ulumul Qur'an adalah sebagai berikut: Ilmu Adab Tilawat Al-Qur'an, Ilmu tajwid, Ilmu Muwathim An Nuzul, Ilmu Towarih An Nuzul, Ilmu Ashab An Nuzul, Ilmu Qiroat, Ilmu Ghaib Al-Qur'an, Ilmu I’rab Al-Qur'an, Ilmu Wiyahwa An Nazhair, Ilmu Ma’rifat Al Muhkam Wa Al-Mutasyabih, Ilmu Nasik wa Al Mansuk, ilmu Badai’u Al-Qur'an, ilmu Ijaz Al-Qur'an, Ilmu Tawasub Ayat Al-Qur'an, Ilmu Aqsam Al-Qur'an, Amtsal Al-Qur'an, Ilmu Jadal Al-Qur’an.
            Dari kesekian ilmu-ilmu Al-Qur'an penulis akan mencoba mengemukakan bahasan tentang I’jaz Al-Qur'an

A.   Pengertian I’jaz Al-Qur'an
                  Kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Ini sejalan dengan firman Allah SWT yang berbunyi.
      Artinya:
      “…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)

                  Lebih jauh Al-Qaththan mendefinisikan I’jaz dengan:
       “Memperlihatkan kebenaran Nabi SAW. atas pengakuan kerasulannya, dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur'an.”

                  Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mujizat. Tambahan ta’ marbhuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalighah (superlatif).
                  Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya sebagai tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Atau Manna’ Al-Qhathan mendefinisikannya demikian:
      “Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.”

      Unsur-unsur mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah:
1.   Hal atau peristiwa yang luar biasa
                  Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa. Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum. Demikian pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.
2.   Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
                  Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash. Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatannya. Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi).
                  Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalannya. Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini.
3.   Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian
                  Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj
4.   Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
                  Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.

B.   Dasar Dan Urgensi Pembahasan I’jaz Al-Qur'an
1.   Dasar Pembahasan I’jaz Al-Qur'an
                  Di antara faktor yang mendasari urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an adalah kenyataan bahwa persoalan ini merupakan salah satu di antara cabang-cabang pokok bahasan ulumul Al-Qur'an (ilmu tafsir).
2.   Urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an
                  Urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an dapat dilihat dari dua tataran:
1.   Tataran Teologis
                  Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin menambah keimanan seseorang muslim. Bahkan, tidak jarang pula orang masuk Islam tatkala sudah mengetahui I’jaz Al-Qur'an. Terutama ketika isyarat-isyarat ilmiah, yang merupakan salah satu aspek I’jaz Al-Qur'an, sudah dapat dibuktikan.
2.   Tataran Akademis
                  Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin memperkaya khazanah keilmuan keislaman, khususnya berkaitan dengan ulum Al-Qur'an (ilmu tafsir)

C.   Bukti Historis Kegagalan Menandingi Al-Qur'an
                  Al-Qur'an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menantang orang-orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak mempercayai kebenaran Al-Qur'an sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan risalah serta ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka, sungguhpun memiliki tingkat fashahah dan balaghah yang tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi memintanya untuk menandingi Al-Qur'an dalam beberapa tahapan:
  1. Mendatangkan semisal Al-Qur'an secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Isra (17) ayat 88:
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ
Artinya:
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian lain.” (Al-Isra (17): 88)

  1. Mendatangkan satu surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur'an, sebagaimana dijelaskan oleh surat Al-Baqarah (2) ayat 23:
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷ƒu $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÌÈ
Artinya:
      “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kami orang-orang yang benar” (QS. Al Baqarah (2): 23)

                  Sejarah telah membuktikan bahwa orang-orang Arab ternyata gagal menandingi Al-Qur'an. Inilah beberapa catatan sejarah yang memperlihatkan kegagalan itu:
1.   Pemimpin Quraisy pernah mengutus Abu Al-Walid, seorang sastrawan ulung yang tiada bandingannya untuk membuat sesuatu yang mirip dengan Al-Qur'an ketika Abu Al-Walid berhadapan dengan Rasulullah SAW. Yang membaca surat Fushilat, ia tercengang mendengar kehalusan dan keindahan gaya bahasa Al-Qur'an dan ia pun kembali pada kaumnya dengan tangan hampa.
2.   Musailamah bin Habib Al Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi juga pernah berusaha mengubah sesuatu yang mirip dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Ia mengaku bahwa dirinyapun mempunyai Al-Qur'an yang diturunkan dari langit dan dibawa oleh Malaikat yang bernama Rahman. Di antara gubahan-gubahannya yang dimaksudkan untuk mendandingi Al-Qur'an itu adalah antara lain:
Artinya:
      “Hai katak, anak dari dua katak. Bersihkan apa saja yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah”.

                  Ketika itu pula, ia merobek-robek apa saja yang telah ia kumpulkan dan merasa malu tampil di depan khalayak ramai. Setelah peristiwa itu ia mengucapkan kata-katanya yang masyhur:
Artinya:
“Demi Allah, siapapun yang tidak akan mampu mendatangkan yang sama dengan Al-Qur'an.”

D.   Mukjizat Al-Qur'an Berupa Gaya Bahasa
                  Susunan gaya bahasa Al-Qur'an tidak sama dengan gaya bahasa karya manusia yang dikenal masyarakat Arab saat itu. Al-Qur'an tidaklah berbentuk syair, tidak pula berbentuk puisi. Sehubungan dengan itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ciri-ciri gaya bahasa Al-Qur'an dapat dilihat pada susunan Kata dan Kalimat Al-Qur'an
Poin ini menyangkut:
a.   Nada dan langgamnya yang unik
                     Ayat-ayat Al-Qur'an walaupun sebagaimana telah ditegaskan Allah bukan syair atau puisi, tetapi terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Hal itu diakui pula oleh cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickhall, dalam The Meaning of Glorious Qur'an. Pickhall berkata, “Al-Qur'an mempunyai simfoni yang tiada taranya sehingga nada-nadanya dapat menggerakan manusia untuk menangis dan bersuka cita.” Hal ini karena huruf dari kata-kata dalam Al-Qur'an melahirkan keserasian bunyi dan kumpulan kata-kata itu melahirkan keserasian irama. Bacalah misalnya, Surat An-Nazilat (79): 1-4
ÏM»tãÌ»¨Y9$#ur $]%öxî ÇÊÈ ÏM»sÜϱ»¨Z9$#ur $VÜô±nS ÇËÈ ÏM»ysÎ7»¡¡9$#ur $[sö7y ÇÌÈ ÏM»s)Î7»¡¡9$$sù $Z)ö7y ÇÍÈ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar