Sabtu, 01 Oktober 2011

DEMOKRASI DAN PENYAKIT SOSIAL

DEMOKRASI DAN PENYAKIT SOSIAL
Oleh  :  Buono

         Tidak lama lagi Kabupaten Pekalongan akan menyelenggarakan pesta demokrasi berupa Pemilukada yang dilaksanakan secara langsung dengan one man one vote  yang diyakini sebagai metode terbaik dalam pelaksanaan demokrasi dewasa ini.
         Demokrasi sebagai suatu metode, dewasa ini diyakini mempunyai keunggulan tersendiri yakni fairness dan egalitarian. Namun sebagai metode sosial perlu dipahami kelemahannya agar bisa diantisipasi untuk diatasi secara bersama-sama.[1]
         One Man One Vote dalam pemilu sebagai praktik esensial dan fragmatis dalam demokrasi, katakanlah pada kualitas pemilu yang amat jurdil sekalipun, ternyata masih memiliki cacat sosial yang bisa  mengarah pada keruntuhan sosial. Penggiringan massa dalam upaya mencari dukungan dalam pemilukada tentu saja rawan terjadinya politik uang. Disinyalir bahwa kandidat Kepala Daerah dan wakilnya dalam tahapan awal telah melakukan kegiatan tersebut.
         Sebagai contoh, calon perseorangan yang maju dalam pemilukada; Dengan segenap kemampuan finansialnya mencoba untuk mendapatkan dukungan minimal 35.000 orang dengan mengganti biaya fotokopi KTP dengan kisaran Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per KTP. Jika dihitung maka calon perseorangan harus mengeluarkan  dana minimal          Rp. 10.000,- x 35.000 = Rp. 350.000.000,- belum termasuk biaya untuk beli materai dan ATK bukti dukungan yang menghabiskan dana antara Rp. 150.000.000,- hingga Rp. 200.000.000,-. Disamping itu calon independen harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk biaya tes kesehatan, transport untuk pendukung dalam rangka verifikasi data faktual dukungan terhadap calon dengan menghadirkan pendukung masing-masing calon ke Balai Desa Setempat, belum lagi untuk biaya lain-lain.
Bagi calon yang diusung oleh partai sekalipun, mereka harus setor upeti ke partai dengan kisaran Rp.500.000.000,- hingga Rp. 1 miliar agar mereka lolos dan diajukan oleh partai pengusungnya. Itung-itungan tersebut baru dalam tahapan pencalonan. Ketika mereka sudah lolos verifikasi sebagai calon, mereka akan lebih dalam lagi merogoh kocek untuk mendanai biaya kampanye dan “ubo rampenya”.
         Kampanye terselubung sebelum jadwalnya dengan mengatasnamakan silaturahmi ormas merupakan fenomena yang lumrah terjadi dalam tiap tahapan pemilukada. Belum lagi pemasangan baliho di tiap sudut kota, menjadikan aroma kampanye sudah terasa walaupun dengan dalih sosialisasi calon Kepala Daerah. Terus, dimanakah tupoksi panwas? Kenapa mereka diam?. Hal klasik yang menjadi jawaban mereka, tentu semua sudah mahfum, bahwa tahapan kampanye belum dimulai jadi mereka belum bisa memulai pekerjaanya.
         Dengan melihat contoh-contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa harga sebuah demokrasi sangatlah mahal dan rawan KKN. Suatu tatanan sosial yang SDM mayoritas penduduknya lemah, tentu mudah diarahkan untuk memilih tokoh yang tidak berkualitas atau bahkan cacat moral. Dalam hal kepemimpinan yang tidak berkualitas itu maka KKN bisa merajalela dan bisa makin merajalela bila jumlah orang yang tidak berkualitas makin dominan. Proses sosial seperti itu berlangsung terus sampai akhirnya hancurlah tatanan sosial bangsa oleh keburukan kualitas pemimpinnya.
         Demokrasi menjadi pendekatan sosial politik yang baik bila kualitas mayoritas penduduk memang relatif sudah baik, minimal pendidikan SMU, dan masyarakat sudah tahu kriteria pemimpin yang bermutu, dan memilihnya berdasarkan ideologi bukan memberi suara karena uang ataupun direpresi oleh kekuasaan.
         Secara umum bisa dikatakan bahwa proses demokrasi amat rawan praktik money politic dan power politic, yakni  permainan uang dan represi kekuasaan oleh mereka yang sedang menikmati kekuasaanya. Kedua praktik sosial itu sering dilakukan oleh kelompok  sosial yang materialistik, tidak berakhlak, dan penguasa korup, gila kekuasaan sehingga rakyat makin tidak berdaya.
         Dengan memahami seluk beluk proses demokrasi seperti ini maka tidak seharusnya umat Islam ikut-ikutan asal teriak demokrasi, tanpa mencari tahu kejelasan akan kelemahan atau cacat metode demokrasi.
         Menurut Dr. Yusuf Qordhowi substansi demokrasi sejalan dengan ajaran  Islam, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal diantaranya adalah :
-   Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
-   Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
-   Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
-   Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
-   Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.[2]
Oleh karena itu proses demokrasi harus dijalankan  dengan kendali ketat agar rakyat memilih pemimpin yang memang baik kualitasnya sehingga dihasilkan pemimpin   yang mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi bahkan bisa berittiba’ dengan sifat-sifat kepemimpinan rasulullah SAW yaitu sidiq, tablig, amanah dan fathonah. Hal ini tentu memerlukan instrumen yang mengatur tentang pelaksanaan demokrasi dan komitmen dari seluruh pihak agar proses demokrasi tidak dinodai dengan praktik-praktik curang, politik uang, represi  kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan dan fungsi kontrol yang kuat.
Selamat melaksanakan pesta demokrasi.

Penulis adalah mahasiswa STIKAP  dan anggota PPS Desa Tangkil Kulon Kecamatan Kedungwuni – Kab. Pekalongan.







[1] Hj. Waryanti Koentjoro. Berdemokrasi Secara Syari’ah. Suara Merdeka edisi Senin, 21 Pebruari 2011. Semarang
[2] Nana Sudiana. Demokrasi Dalam Pandangan Islam. http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/7/cn/19725. 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar